Selasa, 15 Januari 2019

Teknologi Bangunan tahan gempa sistem balok lemah kolom kuat dengan menggunakan Lightweight Concrete


Beton ringan adalah beton yang memiliki berat jenis (density) lebih ringan daripada beton pada umumnya. Beton ringan bisa disebut sebagai beton ringan aerasi (Aerated Lightweight Concrete/ALC) atau sering disebut juga (Autoclaved Aerated Concrete/ AAC) yang mempunyai bahan baku utama terdiri dari pasir silika, kapur, semen, air, ditambah dengan suatu bahan pengembang yang kemudian dirawat dengan tekanan uap air. Tidak seperti beton biasa, berat beton ringan dapat diatur sesuai kebutuhan. Pada umumnya berat beton ringan berkisar antara 600 – 1600 kg/m3. Karena itu keunggulan beton ringan utamanya ada pada berat, sehingga apabila digunakan pada proyek bangunan tinggi (high rise building) akan dapat secara signifikan mengurangi berat sendiri bangunan, yang selanjutnya berdampak kepada perhitungan pondasi.
Indonesia merupakan negara yang rawan akan bencana gempa bumi. Peyebabnya adalah adanya pertemuan sejumlah lempeng tektonik dunia yang membujur hampir di seluruh wilayah Indonesia, seperti pertemuan antara lempeng Australia dengan Asia, yang membentang dari sebelah barat pulau Sumatera, selatan Pulau Jawa, Bali, Nusa Tenggara hingga pulau Timor dan laut Banda, serta lempeng Asia dengan Pasifik, yang membentang dari utara pulau Sulawesi, kepulauan Maluku, dan utara Papua.
Pada dasarnya, terjadinya gempa bumi akan mengakibatkan goncangan pada bangunan yang besarnya bergantung pada tingkat kekuatan gempa, jarak dari bangunan sampai ke pusat gempa, dan kondis/jenis tanah yang dilewati getaran gempa tersebut.
Saat ini, telah ada beberapa metode untuk menganalisis dan menentukan beban gempa yang menimpa dan distribusinya pada bangunan. Menurut salah satu analisis pembebanan gempa pada bangunan yakni pembebanan gempa statik ekuivalen, apabila dikaitkan dengan kondisi dan berat bangunan, getaran gempa tersebut akan menjadi gaya geser atau gaya horisontal dasar pada bawah bangunan. Selanjutnya, gaya geser dasar tersebut didistribusikan sebagai beban lateral/horisontal ke tiap tiap lantai sesuai dengan ketinggian dan berat lantainya. Semakin tinggi lantai, maka akan mendapatkan distribusi beban gempa lateral/horisontal yang semakin besar pula. Sehingga kekakuan, kekuatan, daktilitas dan kemampuan bagian konstruksi untuk meredam atau mendisipasikan gaya gempa merupakan hal utama yang harus diperhatikan dalam perencanan konstruksi bangunan
Konsep balok lemah kolom kuat merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kemampuan konstruksi dalam menahan beban gempa. Dalam perencanaan biasanya sudah ditentukan terlebih dahulu tingkat beban gempa yang direncanakan. Beban gempa ini diperoleh dari pengalaman empirik dan catatan data gempa yang pernah terjadi dalam siklus tertentu.
Kaitannya dengan keunggulan penggunaan beton ringan struktural untuk bahan utama kolom dan balok adalah beton ringan dapat mengurangi berat beban gedung itu sendiri, sehingga ketika gempa tersebut terjadi, gedung yang semula menahan beban dari beton dengan density normal akan lebih ringan untuk menahan beban yang timbul dari berat gedung. Selain itu para peneliti dari berbagai kalangan sudah banyak menemukan formulasi dalam merancang beton ringan mutu tinggi sebagai pengganti beton dengan density normal.

https://ftsp.gunadarma.ac.id/sipil/
https://www.gunadarma.ac.id/

Dien Fikry _11315887_4TA02_I Kadek Bagus Widana Putra_Jurusan Teknik Sipil_Universitas Gunadarma

Sumber :
http://sipil.ft.uns.ac.id/web/?p=880

Sabtu, 05 Januari 2019

ASPEK HUKUM DALAM PEMBANGUNAN (13)

ASPEK HUKUM DALAM PEMBANGUNAN




Nama Mahasiswa (NPM)            :  1.    M. Faisal Ramadhan          (14315567)
                                                        2.   Isna Najib Mahsun             (13315485)
     3.      Ramos Marchelino              (15315634)
     4.    Dien Fikry                              (11315887)
     5.    Yondhi Herlambang             (17315283)
     6.    Azas Pradana                       (11315195)
Kelompok / Semester                 :    III / VII
Dosen Pembimbing                    :    Efa Wahyuni, SE.


JURUSAN TEKNIK SIPIL
FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN
UNIVERSITAS GUNADARMA
2018


KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik sesua waktu yang telah ditentukan.
Penulisan makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Makalah diajukan untuk tugas mata kuliah aspek hukum dalam pembangunan.
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.

                        Depok, 4 Januari 2019

                                                                                                    Kelompok 3



BAB I
PENDAHULUAN


1.1             Latar belakang
Perizinan  merupakan  instrumen  kebijakan  lingkungan  yang  paling penting. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2005 Tentang Bangunan Gedung Pasal 1 angka 6 menyatakan bahwa “Izin mendirikan bangunan gedung adalah perizinan yang diberikan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota kepada pemilik bangunan gedung untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/ atau merawat bangunan gedung sesuai dengan persyaratan administratif dan persyaratan teknis yang berlaku”. Setiap orang yang akan mendirikan bangunan gedung wajib memiliki Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) sebagai surat bukti dari pemerintahan daerah bahwa pemilik bangunan gedung dapat mendirikan bangunan sesuai fungsi yang telah ditetapkan, berdasarkan rencana teknis bangunan gedung yang telah disetujui oleh pemerintah daerah agar bangunan yang didirikan oleh masyarakat dapat tertata dengan baik dan memenuhi persyaratan, layak digunakan, dan tidak merusak lingkungan.

1.2             Tujuan masalah
Mahasiswa mengerti dan memahami mengenai penyelesaian sengketa dalam jasa konstruksi

BAB II
PEMBAHASAN


2.3  ARBRITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DALAM PENYELENGGARAAN KONTRUKSI
Sebenarnya, arbitrase sudah ada sejak lama, tetapi baru lebih banyak dikenal dan digunakan sejak dikeluarkannya UU Arbitrase. Penyelesaian sengketa dagang menjadi lebih banyak menggunakan alternatif ini lantaran dinilai lebih efektif. Putusan yang dihasilkan dari proses arbitrase bersifat final, independen, dan mengikat, artinya setiap pihak baik pemohon maupun termohon wajib memenuhinya. Sengketa perusahaan yang telah selesai ini tidak perlu lagi dibawa ke meja pengadilan. Arbitrase juga kerap menjadi pilihan untuk menyelesaikan urusan sengketa perusahaan karena sifatnya yang tertutup. Terutama bagi pelaku usaha yang sudah besar dan memiliki nama di publik, adanya kasus tentu dapat memengaruhi proses bisnis yang sudah berjalan baik. Menyelesaikan masalah melalui arbitrase adalah pilihan yang bijak karena pemeriksaan dan persidangan tidak dibuka untuk umum sehingga dapat menjaga kerahasiaan sengketa. Keuntungan lainnya dalam menyelesaikan kasus dengan arbiter adalah dua belah pihak telah mengetahui posisi dan sikap masing-masing sebelum sidang dimulai. Seperti yang disampaikan sebelumnya, sidang merupakan prosedur yang dilaksanakan setelah berkas permohonan disampaikan dan tanggapan pemohon diterima. Daftar bukti untuk mendukung dalilnya pun telah disiapkan oleh masing-masing pihak. Dengan demikian, setiap pihak lebih leluasa dalam menyampaikan argumennya pada saat persidangan.
Pada prinsipnya, prosedur penyelesaian sengketa melalui arbitrase melalui lembaga institusional dan ad hoc tidak terlalu banyak berbeda. Berikut ini adalah prosedur yang harus dilakukan
1.            Pendaftaran dan Permohonan Arbitrase
Seperti yang disampaikan sebelumnya, kesepakatan penyelesaian sengketa melalui arbitrase harus disetujui dua belah pihak. Sebelum berkas permohonan dimasukkan, Pemohon harus lebih dulu memberitahukan Termohon bahwa sengketa akan diselesaikan melalui jalur arbitrase. Surat pemberitahuan ini wajib diberikan secara tertulis dan memuat lengkap informasi seperti yang tertuang pada Undang-Undang No. 39 Tentang Arbitrase pasal 8 ayat 1 dan 2, yakni:• Nama dan alamat lengkap Pemohon dan Termohon; dalam menyelesaikan sengketa.
2.            Penunjukan Arbiter
Merujuk pada UU Arbitrase pasal 8 ayat 1 dan 2 yang disebutkan sebelumnya, pemohon dan termohon dapat memiliki kesepakatan mengenai arbiter. Kesepakatan ini dituliskan pada permohonan arbitrase yang disampaikan Pemohon dan dalam jawaban Termohon (dijelaskan pada poin 3 mengenai Tanggapan Pemohon).Forum arbitrase dapat dipimpin hanya oleh seorang arbiter (arbiter tunggal) atau Majelis.
3.            Tuntutan Balik
Dalam jangka waktu 30 hari tersebut, Termohon harus mengajukan tanggapannya kepada BANI untuk kemudian diserahkan kepada Majelis dan Pemohon. Jawaban tersebut harus mengandung keterangan mengenai fakta-fakta yang mendukung permohonan arbitrase berikut butir-butir permasalahannya.


KESIMPULAN

Prosedur Yang Harus Dilakukan Dalam Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase yaitu, Pendaftaran dan Permohonan Arbitrase, Penunjukan Arbiter, Tuntutan Balik

Daftar pustaka

1.       

ASPEK HUKUM DALAM PEMBANGUNAN (12)

ASPEK HUKUM DALAM PEMBANGUNAN




Nama Mahasiswa (NPM)            : 1.    M. Faisal Ramadhan         (14315567)
                                                        2.     Isna Najib Mahsun           (13315485)
     3.    Ramos Marchelino             (15315634)
     4.    Dien Fikry                           (11315887)

     5.    Yondhi Herlambang           (17315283)
     6.    Azas Pradana                     (11315195)
Kelompok / Semester                 :    III / VII
Dosen Pembimbing                    :    Efa Wahyuni, SE.


JURUSAN TEKNIK SIPIL
FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN
UNIVERSITAS GUNADARMA
2018


KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik sesua waktu yang telah ditentukan.
Penulisan makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Makalah diajukan untuk tugas mata kuliah aspek hukum dalam pembangunan.
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.

                        Depok, 4 Januari 2019

                                                                                                    Kelompok 3



BAB I
PENDAHULUAN


1.1             Latar belakang
Perizinan  merupakan  instrumen  kebijakan  lingkungan  yang  paling penting. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2005 Tentang Bangunan Gedung Pasal 1 angka 6 menyatakan bahwa “Izin mendirikan bangunan gedung adalah perizinan yang diberikan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota kepada pemilik bangunan gedung untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/ atau merawat bangunan gedung sesuai dengan persyaratan administratif dan persyaratan teknis yang berlaku”. Setiap orang yang akan mendirikan bangunan gedung wajib memiliki Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) sebagai surat bukti dari pemerintahan daerah bahwa pemilik bangunan gedung dapat mendirikan bangunan sesuai fungsi yang telah ditetapkan, berdasarkan rencana teknis bangunan gedung yang telah disetujui oleh pemerintah daerah agar bangunan yang didirikan oleh masyarakat dapat tertata dengan baik dan memenuhi persyaratan, layak digunakan, dan tidak merusak lingkungan.

1.2             Tujuan masalah
Mahasiswa mengerti dan memahami mengenai aspek penataan ruang dalam penyelenggaraan jasa konstruksi


BAB II
PEMBAHASAN


2.1             ASPEK PENATAAN RUANG DAN PERIJINAN UNTUK MELAKSANAAN PROYEK PEMBANGUNAN
Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 3 Tahun 2016 tentang Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional yang ditandatangani Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 8 Januari 2016 tidak hanya menyoal ketentuan batasan dan perizinan. Perpres itu juga membahas ketentuan perihal tata ruang, penyediaan tanah, jaminan, dan pengadaan barang dalam pelaksanaan Proyek Strategis Nasional. Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional dalam pasal 19 ayat (1) Perpres itu dilakukan dengan memerhatikan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), Rencana Detil Tata Ruang Daerah (RDTRD), atau Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Sementara pasal 19 ayat (2) mengatur ketentuan apabila Proyek Strategis Nasional berbenturan dengan rencana-rencana di atas. "Dalam hal lokasi Proyek Strategis Nasional tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah, Rencana Detail Tata Ruang Daerah, atau Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan secara teknis tidak dimungkinkan untuk dipindahkan dari lokasi yang direncanakan, dapat dilakukan penyesuaian tata ruang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penataan ruang," bunyi Pasal 19 ayat (2) Perpres tersebut.
sebenarnya ada berapa perizinan yang nyangkut dengan target yang kita kehendaki. Ada pun delapan izin itu sebagai berikut:
1.            Izin lingkungan setempat Izin ini terkait juga dengan UU Gangguan yang dikeluarkan oleh pemda setempat.
2.            Keterangan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) Keterangan ini dikeluarkan oleh Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda).
3.            Izin pemanfaatan lahan atau izin pengeringan lahan Izin ini terutama diberlakukan jika ada pengembang yang memakai lahan sawah untuk dikonversi menjadi perumahan.
4.            Izin prinsip Izin ini dikeluarkan oleh pemerintah daerah setempat.
5.            Izin lokasi Izin ini diterbitkan oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang atau Badan Pertanahan Nasional.
6.            Izin dari Badan Lingkungan Hidup atau Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) Izin dari BLH merupakan pengganti Amdal. Jika lokasi yang digunakan cakupannya kecil, cukup mengurus izin Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup dan Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UPL-UKL).
7.            Izin dampak lalu lintas Izin ini dikeluarkan oleh Menteri Perhubungan. Jika perumahan mau dihubungkan dengan jalan arteri, pengembang harus memiliki izin ini.
8.            Pengesahan site plan Hasil perencanaan lahan (site plan) berfungsi untuk mengetahui pengaturan ruang yang akan digunakan saat perumahan dibangun. Izin ini diterbitkan oleh dinas pemerintah daerah setempat di bawah Kementerian PU-Pera.


KESIMPULAN

1.    Kementerian Dalam Negeri mendapat laporan, para pengembang yang hendak membangun rumah maupun kawasan residensial, setidaknya dikenakan 40 perizinan.

Daftar pustaka


ASPEK HUKUM DALAM PEMBANGUNAN (11)

ASPEK HUKUM DALAM PEMBANGUNAN


Nama Mahasiswa (NPM)            : 1.    M. Faisal Ramadhan         (14315567)
                                                        2.   Isna Najib Mahsun            (13315485)
    3.       Ramos Marchelino            (15315634)
    4.       Dien Fikry                          (11315887)
    5.      Yondhi Herlambang          (17315283)
    6.    Azas Pradana                     (11315195)
Kelompok / Semester                 :    III / VII
Dosen Pembimbing                    :    Efa Wahyuni, SE.


JURUSAN TEKNIK SIPIL
FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN
UNIVERSITAS GUNADARMA
2018


KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik sesua waktu yang telah ditentukan.
Penulisan makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Makalah diajukan untuk tugas mata kuliah aspek hukum dalam pembangunan.

Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.

                        Depok, 4 Januari 2019

                                                                                                    Kelompok 3



BAB I
PENDAHULUAN


1.1             Latar belakang
Perizinan  merupakan  instrumen  kebijakan  lingkungan  yang  paling penting. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2005 Tentang Bangunan Gedung Pasal 1 angka 6 menyatakan bahwa “Izin mendirikan bangunan gedung adalah perizinan yang diberikan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota kepada pemilik bangunan gedung untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/ atau merawat bangunan gedung sesuai dengan persyaratan administratif dan persyaratan teknis yang berlaku”. Setiap orang yang akan mendirikan bangunan gedung wajib memiliki Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) sebagai surat bukti dari pemerintahan daerah bahwa pemilik bangunan gedung dapat mendirikan bangunan sesuai fungsi yang telah ditetapkan, berdasarkan rencana teknis bangunan gedung yang telah disetujui oleh pemerintah daerah agar bangunan yang didirikan oleh masyarakat dapat tertata dengan baik dan memenuhi persyaratan, layak digunakan, dan tidak merusak lingkungan.

1.2             Tujuan masalah
1.           Mahasiswa mengerti dan memahami mengenai aspek agraria dalam penyelenggaraan jasa konstruksi

BAB II
PEMBAHASAN


2.1             ASPEK AGRARIA DALAM PEMBANGUNAN
Boedi Harsono membedakan pengertian agraria dalam tiga perspektif, yakni arti agraria dalam arti umum, Administrasi Pemerintahan dan pengertian agraria berdasarkan Undang-undang Pokok Agraria. Pertama dalam perspektif umum, agraria berasal dari bahasa Latin ager yang berarti tanah atau sebidang tanahSebutan agrarian laws bahkan seringkali digunakan untuk menunjuk kepada perangkat peraturan-peraturan hukum yang bertujuan mengadakan pembagian tanah-tanah yang luas dalam rangka lebih meratakan penguasaan dan pemilikannya.
Di Indonesia sebutan agraria di lingkungan Administrasi Pemerintahan dipakai dalam arti tanah, baik tanah pertanian maupun non pertanian. Biarpun tidak dinyatakan dengan tegas, tetapi dari apa yang tercantumdalam Konsiderans, pasal-pasal dan penjelasannya, dapatlah disimpulkan, bahwa pengertian agraria dan hukum agraria dalam UUPA dipakai dalam arti yang sangat luas. Pengertian agraria meliputi bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Dalam batas-batas seperti yang ditentukan dalam Pasal 48, bahkan meliputi juga ruang angkasa. Yaitu ruang di atas bumi dan air yang mengandung :tenaga dan unsur-unsur yang dapat digunakan untuk usaha-usaha memelihara dan memperkembangkan kesuburan bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya dan hal-hal lainnya yang bersangkutan dengan itu. Undang-Undang Pokok Agraria (Uupa) Sebagai Hukum Agraria Nasional
1.         Sifat Nasional UUPA
UUPA mempunyai dua substansi dari segi berlakunya, yaitu pertama tidak memberlakukan lagi atau mencabut hukum agraria kolonial, dan kedua membangun hukum agraria nasional. Menurut Boedi Harsono, dengan berlakunya UUP, maka terjadilah perubahan yang fundamental pada hukum agraria diIndonesia, terutama hukum di bidang pertanahan. Perubahan yang fundamental ini mengenai struktur perangkat hukum, konsepsi yang mendasari maupun isinya. UUPA juga merupakan undang-undang yang melakukan pembaruan agraria karena di dalamnya memuat program yang dikenal dengan Panca Program Agraria Reform Indonesia, yang meliputi sebagai berikut.
a.      Pembaharuan hukum agraria melalui unifikasi hukum yang berkonsepsi nasioanl dan pemberian jaminan kepastian hukum;
b.      Penghapusan hak-hak asing dan konsesi-konsesi kolonial atas tanah;
c.      Mengakhiri penghisapan feodal secara berangsur-angsur.
d.      Perombakan pemilikan dan penguasaan atas tanah serta hubungan-hubungan hukum yang berhubungan dengan penguasaan tanah dalam mewujudkan pemerataan kemakmuran dan keadilan, yang kemudian dikenaldengan program landreform;
e.      Perncanaan persediaan dan peruntukan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya serta penggunaan secara terencana, sesuai dengan daya dukung dan kemampuannya.
2.            Sifat Nasional Material UUPA
Sifat nasional materian UUPA menunjuk kepada substansi UUPA yang harus mengandung asas-asas berikut.
a.      Berdasarkan hukum tanah adat;
b.      Sederhana;
c.      Menjamin kepastian hukum;
d.      Tidak mengabaikan unsur-unsur yang bersandar kepada hukum agama;
e.      Memberi kemungkinan supaya bumi, air dan ruang angkasa dapat mencapai fungsinya dalam membangun masyarakat yang adil dan makmur;
f.       Sesuai dengan kepentingan rakyat Indonesia;
g.      Memenuhi keperluan rakyat Indonesia menurut permintaan zaman dalam segala soal agraria;
h.      Mewujudkan penjelmaan dari Pancasila sebagai asas kerohanian negara dan cita-cita bangsa seperti yang tercantum dalam undang-undang;
i.       Merupakan pelaksanaan GBHN (dulu Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan Manifesto Politik;
j.       Melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
3.            Sifat Nasional Formal UUPA
Sifat nasional formal UUPA menunjuk kepada pembentukan UUPAyang memenuhi sifat sebagai berikut.
a.      Dibuat oleh pembentuk undang-undang naisonal Indonesia, yaitu DPRGR;
b.      Disusun dalam bahasa nasional Indonesia;
c.      Dibentuk di Indonesia;4) Bersumber pada UUD 1945;
d.      Berlaku dalam wilayah negara Republik Indonesia
4.            Tujuan UUPA
Tujuan UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) adalah sebagai berikut.
a.      Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan, dan keadilan, bagi Negara rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur.
b.      Meletakkan dasarr-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertahanan.
c.      Meletakkan dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.


KESIMPULAN

1.    Undang-undang pokok agraria (uupa) sebagai hukum agraria nasional yaitu Sifat Nasional UUPA, Sifat Nasional Material UUPA, Sifat Nasional Formal UUPA, Tujuan UUPA

Daftar pustaka